Pasca Revolusi Industri (1900 – 1930)
Perkembangan industri selanjutnya ialah adanya penemuan listrik yang membuat sistem kerja listrik sebagai sumber penggerak mesin. Hal ini menimbulkan industri manufaktur atau pabrik dapat memproduksi barang dengan volume yang lebih besar lagi daripada menggunakan teknologi uap.
Pabrik-pabrik membutuhkan pekerja yang mampu mengoperasikan dan memelihara mesin dengan teknologi listrik, sehingga terdapat kebutuhan pekerja dengan pengetahuan dan kemampuan baru. Meningkatnya volume produksi mempengaruhi sistem kerja pabrik, sehingga kebutuhan jumlah dan kemampuan pekerja di bidang penyimpanan serta pengiriman diperlukan.
Perkembangan manajemen SDM pada periode ini di masa Hindia Belanda meningkat dengan cepat. Pendirian pabrik-pabrik, kebutuhan perawatan kapal, sampai penggunaan kereta api membuat kebutuhan pekerja dengan pengetahuan dan keterampilan teknis diperlukan. Kebutuhan pekerja yang meningkat pada saat itu misalnya untuk pekerjaan di pabrik gula yang sedang meningkat kebutuhannya.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sejumlah sekolah kejuruan dan akademi pelatihan terutama untuk memenuhi kebutuhan teknisi mekanik, kerajinan kayu, tata busana, pekerjaan penempaan logam, sampai keahlian menggambar. Murid-murid yang lulusannya kemudian mendapatkan pekerjaan di institusi pemerintah, perusahaan industri dan bengkel-bengkel.
Sekitar tahun 1909 di Hindia Belanda didirikan sekolah teknik, misalnya ada 4 sekolah teknik untuk keahlian mekanika, arsitek, dan tambang. Selain itu terdapat juga 17 sekolah profesi swasta yang diorganisir oleh perusahaan swasta saat itu seperti perusahaan gula dan sebagainya. Sekolah-sekolah tersebut untuk mendukung pengembangan kompetensi pekerja sesuai dengan kebutuhan industri.
Pada periode ini, pabrik-pabrik melakukan pengelolaan pekerja dengan fokus untuk mengembangkan hubungan industrial, memelihara dan mempertahankan pekerja yang sudah ada. Hal ini berkenaan masih terbatasnya pekerja yang mempunyai kompetensi dalam bidang industri.
Gerakan Human Relations (1930 -1960)
Masa depresi (the great depression) yang melanda dunia di tahun 1930an berdampak terhadap perekonomian dan industri Hindia Belanda. Hal ini sangat memukul penghasilan ekspor, sehingga pengurangan tenaga kerja, pemotongan upah, dan penundaan kenaikan pangkat menjadi tidak terelakan di perusahaan-perusahaan swasta maupun negeri.
Industri gula mengalami kejatuhan yang menimbulkan efek domino terhadap sektor pendukungnya atau sektor yang terkait, misalnya pemasok tebu, bidang kereta api sampai pelayanan pelabuhan. Pengangguran serta merta meningkat tajam sebagai akibat depresi yang melanda dunia di periode 1930-an ini.
Pengelolaan SDM oleh industri pada saat depresi ini diwarnai oleh kegiatan pemilihan pekerja yang dipertahankan, serta pemutusan hubungan kerja. Pada tahun 1930an ini, mulai dilakukan penelitian tentang human relations terkait faktor-faktor sosial, kepuasan kerja, dan motivasi.
Sejalan dengan perbaikan dan perkembangan ekonomi dunia saat bangun dari depresi, terjadi kembali geliat industri. Perkembangan pada periode ini adalah pemantapan pengendalian atas volume produksi yang tinggi, sehingga dibutuhkan pengelolaan pekerja yang banyak (padat karya). Jumlah pekerja pada pabrik-pabrik meningkat untuk mengimbangi besarnya kenaikan volume produksi, sehingga terjadi perubahan terhadap sistem manajemen SDM.
Tenaga kerja yang meningkat menimbulkan banyak aspek yang harus dikelola, misalnya memberi motivasi, meningkatkan kepuasan kerja, melakukan penilaian kinerja, dan mengembangkan kemampuan pekerja.
Perkembangan human relations pada tahun 1950 mulai mengangkat faktor manajemen partisipasi sebagai tambahan. Manajamen perusahaan dituntut untuk memahami kebutuhan pekerja sehingga dapat menghasilkan kepuasan kerja dan peningkatan produkstivitas. Ilmu manajemen SDM pada dasarnya lahir dari gerakan human relations ini.
Bersambung ke bagian 4